Minggu, 10 Juli 2011

UPA-WASA HINDU

By. I Gede Sridana dari berbagai sumber

Dalam berbagai agama (islam, budha, dsb), maupun tradisi spiritual, pasti mengenal ajaran tentang puasa. Secara umum kegiatan puasa ini ditujukan kepada suatu pencapaian sebuah peningkatan rohani, karena melalui puasa orang belajar untuk memurnikan pikirannya. Puasa diharapkan dpt memberikan kejernihan pikiran, sehingga kualitas ucapan dan tindakan pun semakin baik. Kalau sudah demikian tentu yang dihasilkan adalah karma-karma baik.

Puasa dalam ajaran Hindu dimaksudkan sebagai sebuah upaya mendisiplinkan diri terhadap makanan. Disiplin ini bisa bermakna mengurangi, membatasi atau menihilkan sama sekali makanan yang masuk ke dalam tubuh.

Puasa berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya mendekat, dan Wasa artinya Yang Maha Kuasa. Jadi sebenarnya Islam Indonesia telah meminjam istilah puasa dari Hindu sebab puasa dalam bahasa Arab adalah shaum, di Jawa dan Sunda istilahnya menjadi syiam. Jadi, puasa dalam Hindu merupakan bagian dari tapa. Kata tapa mempunyai arti pengendalian terhadap napsu: napsu makan, minum, sex serta hiburan. Aplikasi daripada tapa berbentuk brata yaitu pengendalian indria.

Didalam Hindu dikenal berbagai macam jenis puasa. Jika dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, maka Puasa Hindu dibedakan dalam puasa yang wajib (diharuskan) dan puasa yang tidak wajib.

Puasa Wajib terdiri dari :

1. Siwaratri (lihat kalender) jatuh pada panglong ping 14 Tilem ke pitu, yaitu sehari sebelum tilem. Untuk y.a.d. jatuh pada Hari Rabu, tanggal 21 Januari 2004. Puasa total tidak makan dan minum apapun dimulai sejak matahari terbit pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2004 sampai dengan matahari terbenam tanggal 22 Januari 2004.

2. Nyepi, jatuh pada penanggal ping pisan sasih kedasa (lihat kalender ketika libur nasional). Puasa total tidak makan dan minum apapun dimulai ketika fajar hari itu sampai fajar keesokan harinya (ngembak gni).

3. Purnama dan tilem, puasa tidak makan atau minum apapun dimulai sejak fajar hari itu hingga fajar keesokan harinya.

4. Puasa untuk menebus dosa dinamakan dalam Veda Smrti untuk Kaliyuga: Parasara Dharmasastra, sebagai “Tapta krcchra vratam” adalah puasa selama tiga hari dengan tingkatan puasa (Pilihan ditentukan oleh jenis dosa yang dilakukan: membunuh binatang, membunuh/ mencederai sapi, hubungan kelamin terlarang/ zina, makan makanan terlarang, membunuh manusia, dll.):

    • minum air hangat saja,
    • susu hangat saja,
    • mentega murni saja,
    • tanpa makan dan minum sama sekali.

Puasa tidak Wajib terdiri dari :

1. Puasa yang tidak wajib adalah puasa yang dilaksanakan di luar ketentuan di atas, misalnya pada hari-hari suci: odalan, anggara kasih, dan buda kliwon. Puasa ini diserahkan pada kebijakan masing-masing, apakah mau siang hari saja atau satu hari penuh. Ingat bahwa pergantian hari menurut Hindu adalah sejak fajar sampai fajar besoknya; bukan jam 00 atau jam 12 tengah malam.

2. Puasa berkaitan dengan upacara tertentu, misalnya setelah mawinten atau mediksa, puasa selama tiga hari hanya dengan makan nasi kepel dan air kelungah nyuh gading.

3. Puasa berkaitan dengan hal-hal tertentu: sedang bersamadhi, meditasi, sedang memohon petunjuk kepada Hyang Widhi, setiap saat (tidak berhubungan dengan hari rerainan) dan jenis puasa tentukan sendiri apakah total (tidak makan dan minum sama sekali) selama 1 hari 1 malam atau seberapa mampunya.

Memulai puasa dengan upacara sederhana yaitu menghaturkan canangsari kalau bisa dengan banten pejati memohon pesaksi serta kekuatan dari Hyang Widhi. Mengakhiri puasa dengan sembahyang juga banten yang sama.

Makanan sehat yang digunakan sebelum dan setelah puasa terdiri dari unsur-unsur: beras (nasi) dengan sayur tanpa bumbu keras, buah-buahan, susu, madu, dan mentega. (Selengkapnya lihat Manawa Dharmasastra buku V).

Salah satu hari untuk melakukan puasa yang paling dikenal dan diterapkan oleh pemeluk Veda di seluruh dunia adalah puasa Ekadasi. Ekadasi berasal dari kata Eka dan Dasi. Eka berarti satu dan Dasa/dasi berarti sepuluh. Ekadasi adalah puasa yang sangat keramat dilaksanakan pada hari ke sebelas dihitung mulai dari sehari setelah bulan purnama atau bulan mati sebagai hari yang pertama dan lusa dihitung sebagai hari yang ke dua dan seterusnya hingga hari ke sebelas.

Pada hari ke sebelas ini umat Hindu dianjurkan untuk melakukan puasa Ekadasi karena bila dilaksanakan secara teratur akan dapat menghilangkan semua dosa dan kebodohan dalam diri manusia sekaligus merubah nasib hidupnya, bahkan dapat meningkatkan kekuatan batin, hingga ke tingkat yang paling tinggi yakni tingkatan bhakti kepada Tuhan.

Menurut Candrawati dalam bukunya yang berjudul “Ekadasi bimbingan rohani Hindu dalam berpuasa”, puasa Ekadasi sendiri terdiri dari 26 jenis. Adapun jenis-jenis puasa Ekadasi tersebut antara lain; Utpanna, Moksada, Saphala, Putrada, Sat-tila, Jaya …Parama. MAsing-masing nama itu punya sejarahnya. Salah satu sejarahnya sbb : (ceritakan)

Puasa Ekadasi dilakukan mulai jam 00.00 dan baru berakhir pada hari berikutnya kira-kira setelah sembahyang pagi saat Brahma Muhurta yang waktunya tidak tentu dan sesuai dengan perhitungan Jyotisa (Astronomi Veda). Jadi waktu puasa Ekadasi rata-rata adalah 30 jam lebih.

Dalam satu bulan terdapat 2 hari Ekadasi dan juga 1 atau 2 jadwal puasa selain Ekadasi dalam rangka memperingati kemunculan Avatara, Rsi/guru kerohanian, atau even-even yang lainnya. Jadi paling tidak umat Hindu seharusnya melakukan puasa paling tidak 3 kali dalam satu bulan. Ternyata aturan ini juga terdapat dalam salah satu hadis umat muslim yang menyatakan “Siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka itu sama dengan puasa dahr (puasa sepanjang tahun)”. Puasa yang teratur 2-4 kali dalam sebulan juga dapat menekan mal-Kolesterol di dalam tubuh, sehingga kemungkinan munculnya penyakit jantung koroner dan struk akibat penyempitan pembuluh darah, pembengkakan jantung dan otak dapat dikurangi. Selain itu masih terdapat banyak hasil-hasil penelitian secara ilmiah yang telah mengungkapkan manfaat puasa secara teratur ini.

Dalam bahasan lain ada dikatakan bahwa didalam Hindu dikenal banyak ragam puasa, namun sayang umat Hindu di Indonesia hanya menjalankan 2 puasa secara massal yaitu puasa Nyepi dan puasa Siwa Ratri. Namun demikian sesungguhnya umat Hindu bisa menjalankan puasa Siwa Ratri setiap bulan, sebab setiap bulan kita bertemu dengan Siwa Ratri yaitu pada purwani tilem.

Melalui kesempatan ini saya memberikan kebebasan kepada bapak/ibu umat se-dharma yang ingin melakukan puasa, silakan untuk memilih puasa yang Saudara kehendaki, sesuai uraian di atas.

Secara pribadi, saya melaksanakan kombinasi dari yang terpapar di atas.

Saya ambil 3 kali sebulan untuk puasa, yaitu puasa ekadasi (2 kali) dan puasa ciwaratri sekali (sehari sebelum tilem). Di selebaran telah saya tuliskan dasar melaksanakan puasa (sumber sastranya) dan doa yang mesti diucapkan sebelum puasa.

Selamat mencoba.

ASAL KATA “SANG HYANG WIDDHI”

Posted by Ngakan Putu Putra on 2007-05-21

Kata “Sang Hyang Widdhi” diciptakan pada tahun 1965? Pasti tidak! Kata “Ida Sanghyang Widdhi Wasa” sudah digunakan dalam Piagam Tjampuhan yang dibuat pada bulan Nopember 1961. Dalam pembukaan Piagam ini disebutkan, versi bahasa Indonesia: : “Atas karunia Ida Sanghyang Widdhi Wasa” kepada Pesamuhan – Agung ini……”. Versi bahasa Bali : Saking paswetjan “Ida Sanghyang Widdhi Wasa” ring Pesamuhan Agung piniki. …..

Lalu dalam butir IV dari Dharma Agama disebutkan : Di dalam Tri-Kayangan harus diadakan Padmasana atau Sanggar Agung sebagai Sthana Ida Sanghyang Widddi Wasa” Versi bhs Bali : Sadjeroning Tri Kayangan patut kawentenang Padmasana wiadin Sanggar Agung maka Sthana IDA SANGHYANG WIDDHI WASA(aslinya huruf besar).

Apakah berarti istilah Ida Sanghyang Widdhi Wasa” diciptakan oleh para peserta Pesamuhan Agung pada bulan Nopember 1961? Tidak juga. Orang Kristen mengklaim istilah “Sang Hyang Widdhi” diciptakan oleh missionaries Kristen pada tahun 1930an. Tetapi tidak dijelaskan siapa misionaris yang menciptakan istilah ini. Pada waktu itu missionaries Kristen berasal dari tiga bangsa yaitu Belanda, AS, dan China. Siapa dari missionaries ini yang menciptakan istilah “Sang Hhyang Widdhi” ini. Hebat sekali orang-orang asing ini bisa menciptakan istilah yang begitu mudah diterima oleh penduduk lokal. Yang benar adalah missionaries itu, siapapun mereka, hanya memilih istilah itu dari istilah-istilah yang sudah ada, seperti Sang Hyang Paramakawi, Sang Hyang Tuduh dan Sang Hyang Widdhi, dan mereka memilih yang terakhir, Sang hyang Widhi (dengan satu “d”).

Fred B Eisman, Jr dalam bukunya “Bali, Sekala & Niskala” mencatat kata Widdhi (Widi) sendiri telah digunakan oleh masyarakat banyak pada waktu itu. Seorang bebotoh yang kalah akan berkata “sing la widi” (maksudnya “sing ngelah widhi” artinya tidak punya Tuhan), suatu ungkapan yang biasa digunakan bila seseorang menerima kemalangan. Kata Widi atau Widdhi, tentu tidak lahir dari peristiwa atau pemikiran atau perenungan para bebotoh. Kata ini sudah ada jauh sebelumnya, sehingga para bebotohpun lacar mengucapkannya. Kita dapat mencari asal usulnya di dalam bahasa sansekerta yaitu : “Vidya’ yang memiliki banyak arti antara lain : knowledge, science, learning, scholarship, philosophy. Knowledge juga dipersonifakasikan dan diidentifikasikan dengan Durga (M. Monier Williams : A Sanskrit Engglish Dictionary). Di dalam kamus ini juga ada kata Viddhi yang artinya “the act of piercing, perforating” (tindakan menembus, melubangi).

Kemungkinan besar orang Hindu di Jawa dahulu mengambil kata Widdhi dari Widya, yang diberi arti Yang Maha Mengetahui. (coba iseng-iseng parhatikan komik Panji Koming di Kompas Minggu, yang menggambarkan masyarakat Majapahit, selalu menggunakan kata Sang Hyang Widdhi).

Sedangkan kata Sanghyang atau Sang Hyang sudah ditemukan dalam naskah-naskah kuno seperti Slokantara, dan Wraspati Tattwa (Bali), Centini dan Dandang Gula (Jawa); Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 M (Sunda).

Sekarang ada sekelompok orang yang dengan fanatik menolak kata Ida dan Sang para sebutan Ida Sang Hyang Widdhi. Alasannya karena kata Ida dan Sang sudah dipakai nama soroh (sama juga dengan Dewa). Tapi ini alasan emosional yang hanya membikin bingung. Bagaimana dengan kata Widi atau Widhi yang juga sudah banyak dipakai nama orang?

Kemudian kata Betara. Kita diberi tahu artinya “Pelindung”, tapi apa dasarnya? Tidak jelas. Dalam kamus sansekerta – Inggris tersebut di atas yang terbit pertama kali tahun 1899 dan telah dicetak ulang 16 kali sampai tahun 2000, ada empat lema yang berkaitan dengan kata “Betara”, yaitu : Bhatta; Bhattaraka; Bhattara; Bhattaaraka (a panjang). Semua kata ini berarti “orang yang dihormati, tuan, pangeran, guru. Hanya satu dari kata itu yang mengandung arti Dewa, selain orang; dan kata itu bukan Bhattara. Kata Bhattara sendiri artinya “a noble lord” atau “Pudya”, satu gelar kehormatan.

Sayang sekali bila orang-orang Hindu, terlebih para pemukanya, apakah itu pengurus Parisada para pinandita, bahkan Pandita tidak mengerti asal-usul dan arti dari kata-kata yang begitu sentral dan begitu sering diucapkan baik secara formal maupun informal di kalangan umat Hindu bahkan juga di luarnya.

Bila anda ingin mengetahui lebih lengkap arti dan asal-usul dari kata-kata itu silahkan baca artikel-artikel di Media Hindu sbb : “Ida, Sang dan Hyang” (MH no 19 edisi September 2005); “Sang Hyang Widhi diciptakan oleh missionaris Krsten?” (MH no 23 edisi Januari 2006); “Hindu di Tatar Sunda” dan “Betara : Apa atau Siapa?” (MH 37 edisi Maret 2007).

Membaca tidak harus membeli. Bisa pinjam dar teman dan difoto copy.

Om santi, santi, santi Om
NPP.