Rabu, 17 Oktober 2012

MEKIDUNG

GERONGAN KINANTI

1. OM SUASTIASTU
DUH HYANG WIDHI MAHA AGUNG
PANGERANE JAGAT KATRI
ACAHYA SUCI GUMILANG
DAHAT HULUN PUJI-PUJI
ANGLUNTURNO SIH NUGROHO
ANGLUNTURNO SIH NUGROHO ....OOO
SUMUNARING CAHYA WENING

2. BRAHMA WISNU CIWA
TUMANDUK ING MANAH HULUN
MANTERAMA DANGI BUDHI
DADOSO JALARAN NIRO
RAHAYU MULYA SAYEKTI
GESANG WONTEN MOYOPODO
GESANG WONTEN MOYOPODO ...OOO
DUMUGI DELAHAN SINGGIH

3. OM SUASTIASTU
HYANG TUNGGAL UGI SINEBUT
NARAYANA DEDASARING
KANG TUMITAH SOBOWONO
INGKANG SAMPUN INGKANG WINGKING
TANPO PURWA TAN WASONO
TANPO PURWA TAN WASONO ....OOO
DATAN WUJUD DATAN LAHIR

Selasa, 11 September 2012


Rahasia di Balik Lambang Palang Merah


Diantara sekian banyak RUU yang controversial, salah satu RUU yang luput dari perhatian masyarakat adalah Rancangan Undang-Undang tentang Lambang Palang Merah (RUU LPM). Padahal, RUU ini tak kalah kontroversial dibandingkan RUU lainnya, khususnya di dunia kerelawanan.
RUU yang diajukan pada tahun 2005 ini berisikan mengenai teknis spesifikasi pemakaian Lambang Palang Merah dan merupakan kelanjutan dari ratifikasi Konvensi Jenewa yang mewajibkan setiap negara memilki satu lambang kemanusiaan untuk perhimpunan nasionalnya agar dalam suatu konflik perhimpuan nasional ini dilindungi dari serangan senjata.Lambang yang diperkenankan dalam konvensi tersebut adalah lambang Palang Merah (Red Cross), Bulan Sabit Merah (Red Crescent), dan Kristal Merah (Red Cristal) (detik.com, 2012). Saat ini, ratusan negara telah menentukan lambang yang akan digunakannya sebagai lambang kemanusiaan. Yakni, 153 negara memilih palang merah, 34 negara memilih bulan sabit merah, dan satu negara (Israel) memilih crystal merah (Hukum Online, 2012).
Disini saya tidak membahas rencana perubahan lambang Palang Merah (Red Cross) yang direncanakan akan diganti menjadi Bulan Sabit Merah (Red Crescent), tetapi saya akan mengulas sedikit makna yang tersembunyi dibalik lambang Palang Merah yang sudah umum dikenal dan digunakan oleh beberapa organisasi seperti Palang Merah Indonesia (PMI), rumah sakit, Toko obat-obatan dan lain sebagainya. Pembahasannyapun dipersempit hanya ditinjau persfektif Hindu.
Lambang Palang Merah berbentuk palang berwarna merah yang saling menyilang satu sama lain di bagian tengah satu mengarah vertikal dan satu lainnya mengarah horizontal dengan ukuran masing-masing simetris dan sama panjang (proporsional).
Lambang saling menyilang dalam ajaran Hindu merupakan kerangka dasar dari salah satu symbol agama Hindu yaitu Swastika . Kata Swastika berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari Su-Asti-Ka; Su artinya baik, selamat , rahayu; Asti artinya adalah ; Sedangkan akhiran Ka adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Jadi Swastika merupakan lambang keselamatan dan kesejahteraan. Lambang keramat yang digunakan sebagai penangkal agar terhindar dari segala rintangan.
1347347927748258413

Salah Satu Bentuk Swastika Dengan Empat Lengan (www.wikipedia.org)
Lambang Swastika dianggap telah ada dan dikenal oleh umat manusia ribuan tahun, bahkan mungkin sudah dikenal sejak adanya manusia mengenal symbol-symbol.
Swastika merupakan lambang yang suci dalam bentuk sebuah tanda salib, keempat lengannya mengarah kekanan. Selain umat Hindu, komunitas dan agama lain juga menganggap lambang ini suci. Oleh karena itu sudah merupakan kebiasaan untuk membuat lambang ini untuk memulai suatu upacara atau kegiatan suci (Prem P. Bhalla , Diah Sri Pandewi, 2010:221).
Dalam Ganeshapuran (Ganesha Purana) dikatakan bahwa swastika merupakan lambang Dewa Ganesh (Ganesha). Lambang ini harus dibuat sebelum melakukan kegiatan baik. Itu memiliki kekuatan untuk menghilangkan semua rintangan. Mereka yang tidak menghiraukan akan gagal. Oleh karena merupakan suatu kebiasaan untuk mengawali dengan lambang swastika (Ibid).
Swastika juga dikenal sebagai ‘satiya’, yang merupakan symbol Sudharshan chakra. Orang –orang juga menganggapnya sebagai symbol yang menunjukan tanda tambah (+). Itu merupakan symbol kesejahteraan. Keempat titik disekitar swastika merupakan simbol keempat arah disekitar kita (Ibid, Hal 222). Selain sebagai symbol keempat mata arah angin juga dipercaya sebagai symbol Catur Yuga, Catur Dharma dan Catur Purusa Artha.
Lambang saling menyilang ini di Bali dikenal dengan tanda Tapak Dara, tanda tambah (+), di India disebut ‘Satiya’. Tapak Dara biasanya dugunakan saat melaksanakan suatu upacara keagamaan dan juga dipasangkan atau dituliskan pada rumah, digoreskan di beberapa tiang rumah dengan pamor, tentunya ketika dilaksanakan upacara pemlaspas (ritual selametan untuk rumah yang baru dibangun) . Tanda Tapak Dara (+) sering pula digunakan sebagai pengobatan Tradisional Hindu (Ayur Veda), dimana tanda ini digoereskan dengan pamor (sejenis kapur) disertai dengan Mantra dipasang di telapak tangan sang pasien maupun di telapak kaki pasien khususnya bayi atau anak-anak. Oleh karena itu tanda ini dikenal dengan istilah Tapak Dara (Tampak Dara).
Dalam salah satu hymne dalam Rig Veda dikatakan bahwa swastika merupakan symbol surya. Dalam Amarkosh, itu disebut sebagai berkat yang murni dan suci. Dalam Acharya Yask, swastika digambarkan sebagai Brahma yang tidak bisa dihancurkan. Juga dipercaya bahwa swastika merupakan symbol Lakshmi, Dewi kemakmuran (Ibid, 223). Dewi Lakshmi di Indonesia dikenal dengan sebutan Dewi Shri. Khususnya bagi petani dikenal sebagai Dewi padi.
Oleh karena demikian agungnya symbol swastika ini, sadar atau tidak telah digunakan oleh dunia sebagai symbol Palang Merah Internasional. Hanya saja diperjelas dengan warna merah.
Secara sederhana makna merah dapat diartikan sebagai keadaan darurat dan berbahaya. Merah merupakan warna darah yang ada didalam tubuh (bhuana alit) dan api yang ada di Bhumi sebagai Dewa Agni dan symbol Matahari yang ada di alam semesta (bhuana agung) sebagai symbol Dewa Surya.
Dari uraian tersebut diatas, sangatlah tepat apabila Palang Merah digunakan sebagai symbol kemanusian terutama dalam bidang kerelawanan. Akankah Badan Legislatif di Indonesia bersikukuh mengganti lambang Palang Merah (Red Cross) menjadi Bulan Sabit Merah (Red Crescent). Yang notabene berkaitan dengan simbol agama tertentu di Indonesia?. Apabila hal itu terjadi bukanlah masalah apabila diganti menjadi Bulan Sabit Merah, sebab lambang bulan sabit merupakan symbol Tuhan dalam mnifestasinya Siwa (Mahadewa) bagi umat Hindu.
Daftar Pustaka:
Prem P. Bhalla, Hindu Rites, Costums and Traditions. Alih Bahasa Diah Sri Pandewi , 2010. Tata Cara, Ritual dan Tradisi Hindu. Paramita Surabaya.
Parisada Hindu Dharma Pusat, 1978 . UPADESA , Tentang Ajaran-Ajaran Hindu. Parisada Hindu Dharma.

Minggu, 10 Juli 2011

UPA-WASA HINDU

By. I Gede Sridana dari berbagai sumber

Dalam berbagai agama (islam, budha, dsb), maupun tradisi spiritual, pasti mengenal ajaran tentang puasa. Secara umum kegiatan puasa ini ditujukan kepada suatu pencapaian sebuah peningkatan rohani, karena melalui puasa orang belajar untuk memurnikan pikirannya. Puasa diharapkan dpt memberikan kejernihan pikiran, sehingga kualitas ucapan dan tindakan pun semakin baik. Kalau sudah demikian tentu yang dihasilkan adalah karma-karma baik.

Puasa dalam ajaran Hindu dimaksudkan sebagai sebuah upaya mendisiplinkan diri terhadap makanan. Disiplin ini bisa bermakna mengurangi, membatasi atau menihilkan sama sekali makanan yang masuk ke dalam tubuh.

Puasa berasal dari bahasa sansekerta yang terdiri dari kata Upa dan Wasa, di mana Upa artinya mendekat, dan Wasa artinya Yang Maha Kuasa. Jadi sebenarnya Islam Indonesia telah meminjam istilah puasa dari Hindu sebab puasa dalam bahasa Arab adalah shaum, di Jawa dan Sunda istilahnya menjadi syiam. Jadi, puasa dalam Hindu merupakan bagian dari tapa. Kata tapa mempunyai arti pengendalian terhadap napsu: napsu makan, minum, sex serta hiburan. Aplikasi daripada tapa berbentuk brata yaitu pengendalian indria.

Didalam Hindu dikenal berbagai macam jenis puasa. Jika dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, maka Puasa Hindu dibedakan dalam puasa yang wajib (diharuskan) dan puasa yang tidak wajib.

Puasa Wajib terdiri dari :

1. Siwaratri (lihat kalender) jatuh pada panglong ping 14 Tilem ke pitu, yaitu sehari sebelum tilem. Untuk y.a.d. jatuh pada Hari Rabu, tanggal 21 Januari 2004. Puasa total tidak makan dan minum apapun dimulai sejak matahari terbit pada hari Rabu tanggal 21 Januari 2004 sampai dengan matahari terbenam tanggal 22 Januari 2004.

2. Nyepi, jatuh pada penanggal ping pisan sasih kedasa (lihat kalender ketika libur nasional). Puasa total tidak makan dan minum apapun dimulai ketika fajar hari itu sampai fajar keesokan harinya (ngembak gni).

3. Purnama dan tilem, puasa tidak makan atau minum apapun dimulai sejak fajar hari itu hingga fajar keesokan harinya.

4. Puasa untuk menebus dosa dinamakan dalam Veda Smrti untuk Kaliyuga: Parasara Dharmasastra, sebagai “Tapta krcchra vratam” adalah puasa selama tiga hari dengan tingkatan puasa (Pilihan ditentukan oleh jenis dosa yang dilakukan: membunuh binatang, membunuh/ mencederai sapi, hubungan kelamin terlarang/ zina, makan makanan terlarang, membunuh manusia, dll.):

    • minum air hangat saja,
    • susu hangat saja,
    • mentega murni saja,
    • tanpa makan dan minum sama sekali.

Puasa tidak Wajib terdiri dari :

1. Puasa yang tidak wajib adalah puasa yang dilaksanakan di luar ketentuan di atas, misalnya pada hari-hari suci: odalan, anggara kasih, dan buda kliwon. Puasa ini diserahkan pada kebijakan masing-masing, apakah mau siang hari saja atau satu hari penuh. Ingat bahwa pergantian hari menurut Hindu adalah sejak fajar sampai fajar besoknya; bukan jam 00 atau jam 12 tengah malam.

2. Puasa berkaitan dengan upacara tertentu, misalnya setelah mawinten atau mediksa, puasa selama tiga hari hanya dengan makan nasi kepel dan air kelungah nyuh gading.

3. Puasa berkaitan dengan hal-hal tertentu: sedang bersamadhi, meditasi, sedang memohon petunjuk kepada Hyang Widhi, setiap saat (tidak berhubungan dengan hari rerainan) dan jenis puasa tentukan sendiri apakah total (tidak makan dan minum sama sekali) selama 1 hari 1 malam atau seberapa mampunya.

Memulai puasa dengan upacara sederhana yaitu menghaturkan canangsari kalau bisa dengan banten pejati memohon pesaksi serta kekuatan dari Hyang Widhi. Mengakhiri puasa dengan sembahyang juga banten yang sama.

Makanan sehat yang digunakan sebelum dan setelah puasa terdiri dari unsur-unsur: beras (nasi) dengan sayur tanpa bumbu keras, buah-buahan, susu, madu, dan mentega. (Selengkapnya lihat Manawa Dharmasastra buku V).

Salah satu hari untuk melakukan puasa yang paling dikenal dan diterapkan oleh pemeluk Veda di seluruh dunia adalah puasa Ekadasi. Ekadasi berasal dari kata Eka dan Dasi. Eka berarti satu dan Dasa/dasi berarti sepuluh. Ekadasi adalah puasa yang sangat keramat dilaksanakan pada hari ke sebelas dihitung mulai dari sehari setelah bulan purnama atau bulan mati sebagai hari yang pertama dan lusa dihitung sebagai hari yang ke dua dan seterusnya hingga hari ke sebelas.

Pada hari ke sebelas ini umat Hindu dianjurkan untuk melakukan puasa Ekadasi karena bila dilaksanakan secara teratur akan dapat menghilangkan semua dosa dan kebodohan dalam diri manusia sekaligus merubah nasib hidupnya, bahkan dapat meningkatkan kekuatan batin, hingga ke tingkat yang paling tinggi yakni tingkatan bhakti kepada Tuhan.

Menurut Candrawati dalam bukunya yang berjudul “Ekadasi bimbingan rohani Hindu dalam berpuasa”, puasa Ekadasi sendiri terdiri dari 26 jenis. Adapun jenis-jenis puasa Ekadasi tersebut antara lain; Utpanna, Moksada, Saphala, Putrada, Sat-tila, Jaya …Parama. MAsing-masing nama itu punya sejarahnya. Salah satu sejarahnya sbb : (ceritakan)

Puasa Ekadasi dilakukan mulai jam 00.00 dan baru berakhir pada hari berikutnya kira-kira setelah sembahyang pagi saat Brahma Muhurta yang waktunya tidak tentu dan sesuai dengan perhitungan Jyotisa (Astronomi Veda). Jadi waktu puasa Ekadasi rata-rata adalah 30 jam lebih.

Dalam satu bulan terdapat 2 hari Ekadasi dan juga 1 atau 2 jadwal puasa selain Ekadasi dalam rangka memperingati kemunculan Avatara, Rsi/guru kerohanian, atau even-even yang lainnya. Jadi paling tidak umat Hindu seharusnya melakukan puasa paling tidak 3 kali dalam satu bulan. Ternyata aturan ini juga terdapat dalam salah satu hadis umat muslim yang menyatakan “Siapa yang berpuasa tiga hari setiap bulan, maka itu sama dengan puasa dahr (puasa sepanjang tahun)”. Puasa yang teratur 2-4 kali dalam sebulan juga dapat menekan mal-Kolesterol di dalam tubuh, sehingga kemungkinan munculnya penyakit jantung koroner dan struk akibat penyempitan pembuluh darah, pembengkakan jantung dan otak dapat dikurangi. Selain itu masih terdapat banyak hasil-hasil penelitian secara ilmiah yang telah mengungkapkan manfaat puasa secara teratur ini.

Dalam bahasan lain ada dikatakan bahwa didalam Hindu dikenal banyak ragam puasa, namun sayang umat Hindu di Indonesia hanya menjalankan 2 puasa secara massal yaitu puasa Nyepi dan puasa Siwa Ratri. Namun demikian sesungguhnya umat Hindu bisa menjalankan puasa Siwa Ratri setiap bulan, sebab setiap bulan kita bertemu dengan Siwa Ratri yaitu pada purwani tilem.

Melalui kesempatan ini saya memberikan kebebasan kepada bapak/ibu umat se-dharma yang ingin melakukan puasa, silakan untuk memilih puasa yang Saudara kehendaki, sesuai uraian di atas.

Secara pribadi, saya melaksanakan kombinasi dari yang terpapar di atas.

Saya ambil 3 kali sebulan untuk puasa, yaitu puasa ekadasi (2 kali) dan puasa ciwaratri sekali (sehari sebelum tilem). Di selebaran telah saya tuliskan dasar melaksanakan puasa (sumber sastranya) dan doa yang mesti diucapkan sebelum puasa.

Selamat mencoba.

ASAL KATA “SANG HYANG WIDDHI”

Posted by Ngakan Putu Putra on 2007-05-21

Kata “Sang Hyang Widdhi” diciptakan pada tahun 1965? Pasti tidak! Kata “Ida Sanghyang Widdhi Wasa” sudah digunakan dalam Piagam Tjampuhan yang dibuat pada bulan Nopember 1961. Dalam pembukaan Piagam ini disebutkan, versi bahasa Indonesia: : “Atas karunia Ida Sanghyang Widdhi Wasa” kepada Pesamuhan – Agung ini……”. Versi bahasa Bali : Saking paswetjan “Ida Sanghyang Widdhi Wasa” ring Pesamuhan Agung piniki. …..

Lalu dalam butir IV dari Dharma Agama disebutkan : Di dalam Tri-Kayangan harus diadakan Padmasana atau Sanggar Agung sebagai Sthana Ida Sanghyang Widddi Wasa” Versi bhs Bali : Sadjeroning Tri Kayangan patut kawentenang Padmasana wiadin Sanggar Agung maka Sthana IDA SANGHYANG WIDDHI WASA(aslinya huruf besar).

Apakah berarti istilah Ida Sanghyang Widdhi Wasa” diciptakan oleh para peserta Pesamuhan Agung pada bulan Nopember 1961? Tidak juga. Orang Kristen mengklaim istilah “Sang Hyang Widdhi” diciptakan oleh missionaries Kristen pada tahun 1930an. Tetapi tidak dijelaskan siapa misionaris yang menciptakan istilah ini. Pada waktu itu missionaries Kristen berasal dari tiga bangsa yaitu Belanda, AS, dan China. Siapa dari missionaries ini yang menciptakan istilah “Sang Hhyang Widdhi” ini. Hebat sekali orang-orang asing ini bisa menciptakan istilah yang begitu mudah diterima oleh penduduk lokal. Yang benar adalah missionaries itu, siapapun mereka, hanya memilih istilah itu dari istilah-istilah yang sudah ada, seperti Sang Hyang Paramakawi, Sang Hyang Tuduh dan Sang Hyang Widdhi, dan mereka memilih yang terakhir, Sang hyang Widhi (dengan satu “d”).

Fred B Eisman, Jr dalam bukunya “Bali, Sekala & Niskala” mencatat kata Widdhi (Widi) sendiri telah digunakan oleh masyarakat banyak pada waktu itu. Seorang bebotoh yang kalah akan berkata “sing la widi” (maksudnya “sing ngelah widhi” artinya tidak punya Tuhan), suatu ungkapan yang biasa digunakan bila seseorang menerima kemalangan. Kata Widi atau Widdhi, tentu tidak lahir dari peristiwa atau pemikiran atau perenungan para bebotoh. Kata ini sudah ada jauh sebelumnya, sehingga para bebotohpun lacar mengucapkannya. Kita dapat mencari asal usulnya di dalam bahasa sansekerta yaitu : “Vidya’ yang memiliki banyak arti antara lain : knowledge, science, learning, scholarship, philosophy. Knowledge juga dipersonifakasikan dan diidentifikasikan dengan Durga (M. Monier Williams : A Sanskrit Engglish Dictionary). Di dalam kamus ini juga ada kata Viddhi yang artinya “the act of piercing, perforating” (tindakan menembus, melubangi).

Kemungkinan besar orang Hindu di Jawa dahulu mengambil kata Widdhi dari Widya, yang diberi arti Yang Maha Mengetahui. (coba iseng-iseng parhatikan komik Panji Koming di Kompas Minggu, yang menggambarkan masyarakat Majapahit, selalu menggunakan kata Sang Hyang Widdhi).

Sedangkan kata Sanghyang atau Sang Hyang sudah ditemukan dalam naskah-naskah kuno seperti Slokantara, dan Wraspati Tattwa (Bali), Centini dan Dandang Gula (Jawa); Sanghyang Siksa Kandang Karesian dan Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 1030 M (Sunda).

Sekarang ada sekelompok orang yang dengan fanatik menolak kata Ida dan Sang para sebutan Ida Sang Hyang Widdhi. Alasannya karena kata Ida dan Sang sudah dipakai nama soroh (sama juga dengan Dewa). Tapi ini alasan emosional yang hanya membikin bingung. Bagaimana dengan kata Widi atau Widhi yang juga sudah banyak dipakai nama orang?

Kemudian kata Betara. Kita diberi tahu artinya “Pelindung”, tapi apa dasarnya? Tidak jelas. Dalam kamus sansekerta – Inggris tersebut di atas yang terbit pertama kali tahun 1899 dan telah dicetak ulang 16 kali sampai tahun 2000, ada empat lema yang berkaitan dengan kata “Betara”, yaitu : Bhatta; Bhattaraka; Bhattara; Bhattaaraka (a panjang). Semua kata ini berarti “orang yang dihormati, tuan, pangeran, guru. Hanya satu dari kata itu yang mengandung arti Dewa, selain orang; dan kata itu bukan Bhattara. Kata Bhattara sendiri artinya “a noble lord” atau “Pudya”, satu gelar kehormatan.

Sayang sekali bila orang-orang Hindu, terlebih para pemukanya, apakah itu pengurus Parisada para pinandita, bahkan Pandita tidak mengerti asal-usul dan arti dari kata-kata yang begitu sentral dan begitu sering diucapkan baik secara formal maupun informal di kalangan umat Hindu bahkan juga di luarnya.

Bila anda ingin mengetahui lebih lengkap arti dan asal-usul dari kata-kata itu silahkan baca artikel-artikel di Media Hindu sbb : “Ida, Sang dan Hyang” (MH no 19 edisi September 2005); “Sang Hyang Widhi diciptakan oleh missionaris Krsten?” (MH no 23 edisi Januari 2006); “Hindu di Tatar Sunda” dan “Betara : Apa atau Siapa?” (MH 37 edisi Maret 2007).

Membaca tidak harus membeli. Bisa pinjam dar teman dan difoto copy.

Om santi, santi, santi Om
NPP.